UPACARA-
UPACARA ATAU RITUAL KEAGAMAAN SUKU ASMAT
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal
mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang
alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang
tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir
yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih
karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh.
Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi
masyarakat Asmat
Kepercayaan mereka mengharuskan
pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Para pemuda Asmat memenuhi
kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan
sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka, sementara
bagian badannya ditawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di desa
tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka
keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka
percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau
memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani
mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari
yang dicintainya untuk menemani.
Di sisi rumah di mana si sakit dibaringkan,
dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit
meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut
memeluk si sakit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur.
Sementara itu, orang-orang di sekitar
rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk
utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran
pada saat menjelang kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan
cara menangis setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan
lumpur dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan
menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan
wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa
diletakkan di atas para (anyaman
bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk.
Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu.
Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih
pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah
meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau
orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yang tingginya
5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang
dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai
dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari
luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang
meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian,
sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga
tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di
pinggir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur,
keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.
b.
Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat
membuat perahu-perahu baru. Dalam proses pembuatan prahu hingga selesai, ada
berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas
kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut
ke pembuatan perahu.
Sementara itu, tempat pegangan untuk
menahan tali penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus
diperhatikan saat mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat banyak
bunyi-bunyian di sekitar tempat itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang
kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga
tidak dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik
perahu meminta bantuan kepada kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di
belakang dan selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara
khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat.
Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di
bagian dalam dan di bagian luar berwarna merah berseling putih. Perahu juga
diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah meninggal atau berbentuk
burung dan binatang lainnya. Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu.
Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik
perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang
paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan
nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa.
Kemudian kembali ke rumah masing-masing
untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri
dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak
dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun,
ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dahulu, pembuatan perahu dilaksanakan
dalam rangka persiapan suatu penyerangan. Bila telah selesai, perahu -perahu
ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas -manasi mereka dan
memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan perahu lebih
terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.
c. Upacara
Bis
Upacara bis merupakan salah satu
kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab berhubungan dengan
pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dahulu,
upacara bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati
terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota
keluarga dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leluhur atau
saudara yang telah meninggal diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran
patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung
berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut.
Dalam masa-masa pembuatan patung bis,
biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut dengan papis. Tindakan ini
bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada
saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu
upacara perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud
untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk
memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini,
karena peperangan antar klan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru
dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan
bahan makanan tidak mencukupi. Hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang telah
meninggal yang belum diantar ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah
pulau di muara sungai Sirets.
Patung bis menggambarkan rupa dari
anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain
bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan
diberikan hiasan-hiasan. Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas
suatu panggung yang dibangun di rumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang
ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan
mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets
dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak
diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan
ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.
d. Upacara
pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe
rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang (je). Rumah bujang inilah yang
amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama
marga (keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan
baik yang bersifat religius maupun yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga
dapat tinggal di sana, namun apabila ada suatu penyerangan yang akan
direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang
masuk.
Suku Asmat melakukan upacara khusus
untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat.
Pembuatan rumah bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan
dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.
0 komentar:
Posting Komentar